Diberdayakan oleh Blogger.

welcome to my site

User Login

On Rabu, 23 Juni 2010 0 komentar

Jika kita adalah air yang ingin untuk terus mengalir, sedangkan bendungan besar menghalangi gerak. Mari mencari sela-sela tanah untuk kita bisa meresap. Daripada menjadi genangan yang hanya digemari lintah-lintah lapar bersembunyi.

Demikianlah kesepakatan air yang dimusyawarahkan bersama lumut-lumut. Diselingi isak tangis beberapa belut. Air hanya berbicara dengan nada mesra, semesra lelaki paruh baya yang kembali jatuh cinta.”Jika engkau mengkhawatirkan untuk ditangkap oleh manusia-manusia yang semakin pongah. Kau tidak terlalu butuhkanku. Aku tetap tidak akan menghilangkan seluruh batang tubuhku. Aku tetap akan memeluk tubuhmu. Sebab, hanya di semua pori-poriku engkau bergerak lincah. Percayakan pada lendir yang ada ditubuhmu. Bila kau hanya jadikanku sebagai tempat persembunyian saja. Maka engkau akan menjadi ikan yang pengecut. Yang menyerah pada musuh, tanpa melihat terlebih dahulu pada semua kelebihan yang telah diberikan Tuhan pada lendir tubuhmu.”

***

Entah kita hari ini menjadi bagian dari belut. Lumut ataukah air tergenang. Dilema akan bermunculan dalam sekecil apapun peran yang dititahkan Sang Segala Maha. Dan aku, malam ini berkesempatan untuk berbicara pada air yang sedang keluar dari sungai-sungai syurga. Menetes girang lalu menyiram bumi yang siang tadi terlalu lelah terbakar oleh panas matahari.

“Kenapa engkau tidak menyiram bumi pada saat yang sama.” Tanyaku

“Aku bisa lakukan itu bila saja aku memang inginkan itu. Tetapi aku adalah bagian dari makhluk-Nya yang percaya pada titah-Nya. Dia sering menyebutkan, hilangkan ingin. Tetapi perhatikan apa saja yang dibutuhkan oleh siapa saja. Dan keinginan manusia itu tidak satu. Mereka memiliki berlaksa ingin. Mereka memiliki keserakahan. Meski sebagian berhasil melawannya, melawan keserakahan itu. Tetapi, aku melihat dan mengumpulkan ingin mereka kedalam 2 bagian saja. Yang inginkan dan yang tidak menginginkannya. Kemudian aku memecahkan masalah itu dengan rumus kebutuhan yang diberikan Tuhan. Aku takkan peduli pada yang memaki saat aku turun setelah membelah awan. Aku menyatu bersama gravitasi yang menjadi sahabat untukku dan mereka yang membutuhkanku. Manusia, seringkali tidak tahu yang dibutuhkannya sendiri. Mereka cenderung hanya melihat pada yang dimaui saja, pada yang diinginkan. Tetapi, sekali lagi mereka justru melupakan yang dibutuhkannya.”

“Tetapi tidak, aku tidak merasa pongah dengan anugerah pemahaman dan kebesaran hati yang diberikan Tuhan. Aku tidak merasakan apa-apa. Aku hanya melakukan semua yang telah dititahkan-Nya. Karena ternyata dia telah jauh memahami bahwa untuk anasir alam sepertiku selalu butuh untuk tetap mengalir. Maka Dia ciptakan bentukku seperti ini.”

“Aku sering merasakan pilu pada sahabat-sahabatku di bumi. Mereka lupa pada script lakon yang harus diperankannya. Mereka bahkan sudah tidak mengenal bahwa kebenaran itu ada. Bahkan dengan alasan untuk disebut manusia, agar dikenal bijak. Maka untuk kesalahan yang jelas salah masih mereka coba untuk mencari pembenaran. Alasan yang diberikan terlalu dangkal. Para perusak yang leluasa bernapas memang tidak akan pernah merasakan terbeban. Karena mereka sangat yakin, masih terlalu banyak manusia dungu yang bisa mereka bujuk untuk mengangguk, bahwa kebenaran sama sekali sudah kehilangan bentuk. Kebenaran itu hanya milik Tuhan, dan Tuhan Egois sehingga enggan mengajarkan kebenaran yang sesungguhnya. Seperti itu yang mereka tanamkan pada kepala-kepala yang terlalu pagi lelah berpikir.”

“Kesalahan kalian di bumi ini yang paling besar adalah membiarkan diri berhenti mencari tahu. Yang sering terjadi adalah kalian tahu sesuatu dan hanya mencari tahu hal-hal yang memperkuat yang sudah kalian tahu. Hanya yang sejalan dengan selera saja. Sehingga yang terjadi, semua yang kalian tahu itu justru hanya membuat kalian lupa. Lupa bahwa kebenaran sejati itu masih ada. Tinggal kalian melihat pada nurani yang telah dipastikan bersih dari kontaminasi keserakahan, kepicikan, dengki. Tanpa itu, peradaban yang kalian bangun hanya menjadi penjelas kebodohan kalian sendiri. Tolong sampaikan salamku pada sahabatku yang masih bisa kau sapa.”

Ia lalu menghilang seperti hantu, sedang menggali tanah di halaman rumah untuk rasuki sejuk

(hanya renungan saat hujan turun)
Sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2009/11/23/mendengar-bahasa-air/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar